Mengendus aroma Italia selalu seperti ditarik pulang oleh sesuatu yang familiar—entah itu bau basil segar, roasted coffee, atau roti yang baru keluar dari oven. Kalau lagi santai, saya suka membayangkan diri sedang duduk di teras kecil, meja kayu, secangkir kopi dan sepiring pasta yang uhhh… sempurna. Artikel ini bukan tulis ilmiah. Ini curhatan ringan soal resep warisan, pengalaman makan, dan kebiasaan lokal yang bikin kita jatuh cinta pada masakan Italia.
Asal-Usul Resep Warisan (dan resep singkat yang gampang)
Italia itu seperti perpustakaan resep hidup — tiap daerah punya koleksinya sendiri. Dari Liguria dengan pestonya, ke Emilia-Romagna yang merayakan ragù, sampai Sicilia yang penuh rasa citrus dan seafood. Banyak resep warisan diwariskan dari nonna ke cucu lewat sentuhan tangan, bukan lewat buku resep. Simpel, tapi penuh aturan halus yang harus diikuti.
Saya sisipkan satu resep gampang yang selalu berhasil: Pesto Genovese ala rumahan. Bahan: segenggam basil segar, 2 siung bawang putih kecil, 30g kacang pinus atau walnut panggang, 50g keju Parmesan, 100ml minyak zaitun extra virgin, garam dan lada secukupnya. Cara: tumbuk basil, bawang, dan kacang sampai halus (bisa blender asal jangan overprocess). Tambah keju, tuang minyak sedikit demi sedikit sampai tekstur krim. Campur dengan pasta al dente, sedikit air rebusan pasta, dan selamat—aroma hijau menyapa.
Pengalaman Makan: Dari Trattoria ke Piazza (gaya santai, bercerita)
Pernah makan di trattoria kecil di Florence, saya ingat meja di sebelah memesan empat kursus dan benar-benar menikmati setiap suapan selama dua jam. Di Italia, makan itu lambat. Sup, pasta, daging, dessert—semua punya waktunya. Antipasto untuk membuka, primi (biasanya pasta atau risotto), secondo (daging atau ikan), contorno (sayur), lalu dolce. Bukan karena mereka sok formal, tapi karena setiap hidangan sebenarnya cerita sendiri.
Oh ya, ada satu kejadian lucu: saya sempat menanyakan apakah boleh minta porsi kecil. Waiter tersenyum dan bilang, “Ma cosa? In Italia se bagian!” Maksudnya, makan bersama adalah ritual. Jadi seringkali lebih enak jika pesan beberapa piring untuk sharing. Kalau mau suasana yang mirip di sini, coba cari restoran yang honest dan hangat—kalau penasaran, saya pernah menikmati suasana semacam itu di Portobello Restaurant, tempat yang bikin saya merasakan sentuhan tradisi tanpa harus terbang jauh.
Kebiasaan Lokal yang Bikin Ketagihan (dan kadang bikin geli)
Beberapa kebiasaan Italia terasa manis, beberapa bikin geleng kepala. Misalnya: cappuccino hanya minum sebelum jam 11.00. Makan pasta untuk makan malam sebagai “course” utama? Biasa. Espresso diminum berdiri di bar, cepat, dan langsung lanjut beraktivitas. Lagi seru: orang Italia suka mengucapkan banyak kata sambil gerak tangan—lebih dramatis daripada opera. Saya jadi sering ikut ikutan pakai tangan waktu makan. Lucu, tapi memang menambah bumbu suasana.
Lalu ada aturan tak tertulis dari nonna: jangan campur makanan yang menurut dia “tidak cocok”. Contohnya, beberapa nonna tak rela melihat lemon pada hidangan tertentu, atau menaruh parmesan di atas makanan dengan saus ikan. Agak konservatif? Iya. Tapi itulah bagian dari keaslian warisan kuliner yang dijaga begitu rapat.
Dan jangan lupakan kebiasaan makan siang panjang pada hari kerja—banyak toko tutup, orang pulang sebentar untuk makan. Konsep slow food di Italia bukan hanya slogan. Mereka menikmatinya: ngobrol, tertawa, lalu makan lagi. Saya selalu iri melihat itu. Kadang kita butuh izin untuk melambat, ya kan?
Intinya, kuliner Italia itu soal rasa, tempat, dan orang. Resep warisan memberi kita peta rasa, pengalaman makan mengajarkan cara menikmatinya, dan kebiasaan lokal memperkaya cerita di balik setiap suapan. Kalau kamu belum pernah merasakan makan di piazza sambil orang lewat dan gelato di tangan, rencanakan saja—atau mulai dari dapur sendiri: pesto, pasta, kopi, seorang teman, dan waktu yang cukup. Sederhana, namun magis.